Kamis, 16 Februari 2017

Amplop Hitam di Tanah Merah Putih

Sepucuk surat dari sekelompok manusia yang  masih  hijau dan rawan akan kalimat kekerasan dan kepastian hidup. Melanda kriminal di atas tumpukan berkas yang konon akan menggelitik sedikit saja para pelakunya. Tapi toh tetap  saja bersama di atas kertas tinta hitam bertajuk debu hingga ditenggelamkan waktu dan tempat pemukiman. Mengapa tidak, dengan berputarnya sang waktu bersama dengan segenggam masa yang diemban telah muncul ke permukaan fakta yang sangat miris dan enggan untuk difikirkan oleh sebagian kaum Adam.
Berdasarkan data International Center for Research on Women (ICRW), pada 2015 sebanyak 84% peserta didik di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah; setidaknya sekali selama 12 tahun menimba ilmu di sekolah. Tidak hanya itu, 75% siswa mengaku pernah melakukan aksi kekerasan di lingkungan sekolah. Fakta lain mengungkapkan, pelaku kekerasan tidak hanya dilakukan oleh murid, tetapi oknum guru atau petugas sekolah. Data yang sama mengungkapkan 45% murid laki-laki di Indonesia mengaku pernah menerima tindak kekerasan dari guru maupun petugas kesehatan. Adapun, 22% siswa perempuan menyebutkan pernah mengalami hal serupa. Salah satu bentuk kekerasan yang paling lazim terjadi di lingkungan sekolah Indonesia adalah perundungan (bullying). Tahun lalu saja, United Nations Children’s Fund (Unicef) mencatat lebih dari 50% peserta didik di republik ini pernah mengalami perundungan di sekolah. Di beberapa daerah, seperti Papua dan Papua Barat, kekerasan di lingkungan sekolah adalah hal yang lazim.
Kembali beberapa langkah ke belakang, Lembaran sejarah telah berceloteh dengan segala argumentatif yang tergambar. Dunia pendidikan di Kota Makassar telah tercoreng untuk ke sekian kalinya. Saat itu,  tercorengnya dunia pendidikan  akibat ulah siswa SMK Negeri 3 Makassar dan SMK Negeri 1 Sulsel yang terlibat aksi tawuran di Jl Landak Baru, Senin (28/11/16).
Dengan seringnya kejadian tawuran, semua berharap pihak sekolah mampu mendisiplinkan siswanya agar tak melakukan kenakalan yang meresahkan warga. Selain itu, ia berharap adanya pengawasan terhadap penggunaan gadget pada anak. Hal tersebut dikarenakan banyaknya siswa yang kini kedapatan punya grup di media sosial untuk melakukan kenakalan. Seperti grup yang bernama @01gbg baswet dan @Basis Strong Wanian yang sengaja mengajak temannya yang lain untuk menantang sekolah yang akan diserangnya. Selain itu grup lain yang tertangkap sebagai grup tawuran yakni @basis Cirebon Strong dan grup @Tawuran Antar Pelajar Cirebon. Ironisnya, yang tergabung dalam grup tersebut bukan hanya pelajar yang masih berstatus sekolah saja, tapi juga siswa yang sudah dikeluarkan dari sekolah.
Miris negeri ini, alih-alih kekerasan menjadi karakter masyarakat kapitalis. Semua problem solving berlaku legal dan melakukan sintesis dengan kekerasan. Rentan stress karena banyaknya tekanan hidup, kesenjangan dan ketidakadilan menyelimuti insan di muka bumi. Di AS sebagai Negara contoh demokrasi  setiap harinya kasus berjalan tak tahu arah dan tempat. Apalagi di kalangan pendidikan sudah dibumikan dan menjadi faktor pendorong kehidupan disana. Jika di Indonesia terjadi yang serupa, membuktikan masyarakatnya semakin kapitalis liberal sebagaimana AS.
Dunia pendidikan kini semakin menjulang tinggi tanpa menoleh sedikitpun.egaliter tak mau lagi terealisasi dan merangkap angkuh tak berdaya. Kriminalisasi tak kunjung dijemput olek sekelompok kedamaian yang sedari tadi menunggu. Sekularisasi pendidikan menjadi landasan berpijak dalam dunia pemuda telah berhasil membungkus erat karakter para pemuda.  Ternyata pendidikan karakter tak mampu membawa mereka pada rana optimalisasi dan output yang unggul saat ini. Sehigga tak ada pada diri pemuda tertanam sedikitpun jiwa-jiwa pesaing untuk menghadapi era modern secara global saat ini.  Penyebab utama kepahitan dunia pendidikan adalah agama yang semakin dijauhkan dari jiwa dan raga para pemuda.  Hingga mereka terpuruk dari arah jalan yang hendah ditempuh. Pendidikan agama menjadi sempit dipahami oleh peserta didik akibat waktu memburu dihabiskan dengan pendidikan umum.  Empat jam dalam 7 hari tak akan mampu membawa positive character pada dunia pendidikan.  Bahkan pendidikan agama tak bisa digabungkan dengan pelajaran umum dikarenakan pemikiran sekuler yang telah mencolok menyatakan bahwa agama hanya untuk ibadah saja (hablu minallah). Sehingga banyak anak-anak yang merasa bahwa pendidikan Islam itu pelajaran yang terkucilkan,  alih-alih sampai tidak ikut belajar karena menganggap hal itu tudak penting.  Pendidian sekuler hanya menghasilkan pribadi yang split/tidak utuh.  Generasi yang mengembangkan kekerasan dalam menyelesaikan masalah adalah salah satu hasil sistem pendidikan sekuler yang gagal. 
Solusi dengan meningkatkan disiplin dan mengawasi penaggunaan gadget/media tidaklah cukup. Karena tak semua orang tahu apa yang dilakukan oleh remaja selama 24 jam tersebut.  Bahkan di tempat yang tak memungkinkan hal itu terjadi menjadi lumrah mereka menggunakan alat media. Bukan pula dengan beberapa aturan dalam draft Undang-undang Perlindungan anak,  UU Perlindungan Perempuan, Komnas HAM dan sebagainya.  Konsep kriminalitas tetap berpegang teguh pada prinsipnya dan semakin menjulang tinggi.  Perubahan mendasar yang mestinya dilirik adalah  harus mendasar pada penghapusan sistem kapitalis dan mengganti sistem pendidikan sekuler menjadi sistem Islam. Syariat Islam adalah salah satu solusi ummat saat ini. Bukan hanya secara parsial saja tetapi secara holistik mampu mengungguli sejarah yang tercoret dalam tinta peradaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar