Karya: Ghaziyah Ufairah
SERIBU TANYA
Relawan seutas dongeng belaka
Lemparan keras mengadu domba
Mencungkil serpihan kaca penuh konflik
Berbaris dan bertanya seribu kata
Apakah aku akan seperti ini saja?
Jangan bertanya pada sungai yang mengalir
Dimana pentasku kian menghinggap ?
Jangan tanya pada lempengan batu
Menggarap tanah , bersandarkan cangkul, itukah aku ?
Bertanya pada benalu kepribadian
Lenggokan badan, air mata menari, apa salahku?
Jangan tanya pada matahari sebelum melambaikan cahayanya
Bongkahan plasenta mencorak, ada apa ini?
Jangan tanya pada gunung yang berbaris
Karya negeriku dan alamku, dimana mereka ?
Mereka ada di negerimu, kata sekelompok kelelawar
Aku tidak melihat mereka
Mereka ada di sekitarmu namun tak nampak secara kasat mata
Mengapa mereka bersembunyi dari tuannya ?
Mereka cukup malu memperlihatkan dirinya kepadamu
Apa yang mereka malukan?
Mereka terlalu banyak,
Jadi malu ketika engkau melihatnya dalam keadaan sakit
Terdiam dilakukan
Di tengah keasingan negeri dan alamnya
Berbisik sobekan baju
Menyuarakan dia ada
Tapi kita mengemis pada yang lain
RETAKAN KAYU
Retakan kayu menggulana, memancing prasetio nan gurun
Perisai bak topeng tanpa menoleh secuil pun
Menggumam hati, mendesir angin kencang
Kurap mata melesetkan pancaran keping
Konon, retakan kayu benalu tak bisa berbicara
Melestarikan jenisnya pun sepupus asa
Meraung meminta untuk diisi kekosongan
Setiap harinya hanya menunggu hati konglomerat untuk menjemput
Hah, retakan kayu tenggelam dalam air yang dangkal
Berpose, menyelipkan gundah di tepi pangkal
Menyulam cerita , menyobek guratan luka
Melambaikan kepedihan ombak yang dibawa arus
Retakan kayu,, retakan kayu,,
Melawan adalah hakmu, meronta pelepah pisang
Menjadikanmu terhormat, menggurat tubuhmu
Menyongsong aliran oase, mendera kerap kaku
Menderita dalam ensiklopedia besar kucari
Tak ada namamu yang tertampang, tak pantas bagimu
Menyulap kerangka tubuh si benalu menjadi perlawanan arus
Retakan kayu…
Temukan dirimu di sudut kosong membara nan tak resah
SAJAK KEASINGAN
Kompilasi plasma dalam ketergantungan
Melepuh bagai pecahan logam
Tercengang dalam kebungkaman
Meyairkan dendang yang menebas tubuh ini
Melengking titik noktah sejarah
Guratan pilu mengenang peradaban
Membaja tak mampu tergeserkan oleh waktu
Melambai-lambaikan jemari yang penuh darah perjuangan
Refleksi tubuh ini tertengadah selangkah mundur
Gempita masa lalu melahirkan patroli sejati
Sambil melacak jutaan sejarah dalam gua yang terkunci
Gemuruh angin menerpa mata aksara hingga tertutup
Teruntuk bagai tak ingin memandang
Sang pionir duta islam dalam sejarah kebangkitan
Sangat terasingkan oleh ruang dan waktu
Para pendekar muda masa kini
Itulah sejatinya kolonel yang menerawang namun bisu
INIKAH HUKUM ?
Aturan menggoncangkan masa
Melambambangkan paksa
Mendayu jeritan
Melontarkan kesengsaraan
Kejahiliaan menggali waktu
Zaman modern mengurung waktu
Proses keimanan melenceng
Mencoraki pra tameng
Hukum menjadi sasaran
Sangatlah bertentangan
Jejeran kontradiktif
Meluangkan wadah persuasif
Hak
Kewajiban
Sebuah kata ironis
Berdendang sambil berbaris
DEMONSTRASI
Maraknya luncuran berita masa kini
Di media, kawan para penghantam ini
Masalah yang terjadi di kalangan remaja
Menyulap perlawanan dengan kata
Takkan terjadi sebuah revolusi kawan
Walau gertakan ke penguasa menjadi andalan
Itu kata mereka duduk di pengayoman
Hanya mampu berucap tanpa mampu melawan
Jangan dengar celoteh mereka
Memberi durno agar kita terpecah kaca
Itu yang mereka selalu damba
Egaliterian menguras seluruh tenaga
Melambaikan kontroversi masa
Tetap bersama analekta bunga rampai
Agar tujuan tetap dicapai
Tetaplah meraung walau tikus berdasi tak mendengar
Inilah intifadah harus dilakukan intelektual cerdas
Semoga puisi-puisi di atas mampu membuat para pembaca sadar tentang negeri yang telah lama merajut luka. Dan menjadikan Islam sebagai landasan berfikir kita untuk menyelesaikan segala problematika ummat saat ini.
Wallahu a'lam 😀
Tidak ada komentar:
Posting Komentar